Panen Cuan Bukan Soal Viral, Tapi Soal Hadir, Rutin, dengan Jiwa

Panen Cuan Bukan Soal Viral, Tapi Soal Hadir, Rutin, dengan Jiwa

 

Saat pertama kali buka toko BajawaBuku di Tokopedia, saya merasa seperti baru menemukan mesin cetak uang versi digital. Produk pertama saya berupa Buku Bung Karno dalam Tiga Paragraf langsung laku. Hal ini tentu bikin semangat.

Di hari yang sama, saya buat halaman Facebook. Posting sekali: buku Pentigraf Bung Karno dalam Tiga Paragraf yang diterima beberapa pemberi. Tidak lama beberapa teman tertarik dan ikut membeli. Ternyata sesantai itu menjual secara online."

Saya tersenyum puas. Merasa sudah menemukan formula ajaib: upload barang kita, tunggu reaksi pembaca yang memesan, kirimkan pesanan dan kita dapatkan uangnya lewat tokopedia.

Tapi seperti semua hal yang terlalu indah di awal, kenyataan datang perlahan. Dan keras.

Minggu ke-6: Saat Euforia Mulai Redup

Pesanan mulai melambat. Di Tokopedia, toko saya yang awalnya muncul di halaman 2-3, tenggelam ke halaman 12. Di Facebook, postingan saya dilihat 87 orang, tapi diklik 2. Saya coba naikkan harga sedikit (karena biaya bahan naik), langsung dapat komentar: "Mahal banget, padahal cuma cerita pendek." Itulah suka dukanya, dikira menulis cerpen harus dihargai murah jika dibandingkan menulis opini. Padahal sesungguhnya menulis cerita pendek itu lebih sulit daripada menulis artikel loh.

Saya kecewa. Bukan karena rugi, tapi karena sudah berusaha, kok tidak dilihat?

Saya telusuri kompetitor. Ada yang fotonya profesional, ada yang pakai video demo, ada yang tiap hari live jualan sambil bagi-bagi tips gizi. Saya sadar: Saya mengira "jualan online" itu tentang punya produk. Ternyata, ini tentang membangun kehadiran di tengah lautan yang sama-sama bersuara.

Titik Balik: Saat Saya Memilih Konsistensi, Bukan Keberuntungan

Saya putuskan tidak berhenti. Tapi tidak juga asal semangat. Saya buat komitmen kecil, yang ternyata jadi fondasi besar:

Konsisten, meski kecil. Setiap Selasa & Jumat jam 10 pagi: update stok di Tokopedia. Setiap Sabtu: posting 1 konten edukasi di Facebook, bukan jualan, tapi misalnya: "Kenapa menulis dan membaca sejarah itu tidak harus rumit dan berat? Ini penjelasan sederhananya."

Setiap hari Minggu: balas semua komentar & DM, bahkan yang hanya bilang "Makasih infonya."

Saya tidak pakai tools mahal. Tidak sewa desainer. Saya tida pernah pakai video atau reels. Dan, perlahan, respons mulai berubah. Bukan ledakan. Tapi getaran kecil: Seorang ibu berkomentar: "Wah ternyata asyik membaca sejarah dalam bentuk fiksi. Makasih, Mas."

Seorang karyawan kantoran DM: "Boleh request yang jilid 1-nya? Ternyata asyik membaca sejarah pembuangan Soekarno di Flores"

Itu bukan sekadar pelanggan. Itu orang yang mulai percaya.

Kreativitas: Saat Saya Berani jadi "Bedha" (Jawa: Berbeda)

Saya sadar: di pasar yang sama, yang menang bukan yang paling murah, tapi yang paling diingat.

Maka saya ubah pendekatan: Dari foto produk  ke "proses". Caption: "Ayo tuliskan sejarah tokohmu dengan sastra." Klik naik 200%.

Dari "Ready stock!"  ke "Cerita di Balik Kemasan". Di deskripsi Tokopedia, saya tambahkan bagian kecil:

"Menulis rasa kagum pada tokoh idola dari kaca mata fiksi itu terasa menarik namun sekaligus manusiawi. Kita bisa menuliskan siapa saja yang kita kagumi dengan seni." 

  "Panen Cuan" Versi Saya

Hari ini, saya tidak punya ratusan ribu followers. Tidak ada kolaborasi brand besar. Tapi bisnis saya hidup, stabil, dan (yang paling penting) bermakna.

Ada pembeli yang kirim foto anaknya sambil baca buku: "Akhirnya dia mau baca buku cerita pendek. Katanya, seperti ikut hadir bersama sang tokoh."

Ada pembeli yang pesan untuk diberi ke temannya di kota lain. "Mas dua seri cerita pendek Bung Karno masih ada? Saya mau belikan untuk teman saya, dia pengagum Bung Karno"

Itu yang membuat saya rela begadang akhir pekan untuk uji resep baru. Rela revisi foto 5 kali demi pencahayaan yang pas. Rela jawab DM jam 9 malam, karena saya tahu, di balik layar itu, ada orang yang benar-benar berharap. Melayani pelanggan itu sama dengan memupuk rasa percaya dan ketergantungan. 

Untuk Anda yang Sedang di Titik yang Sama

Jika Anda sudah upload produk, tapi sepi..., Sudah iklan, tapi konversi rendah..., Merasa "capek sendiri" di tengah hiruk-pikuk jualan online...

Saya ingin berbagi satu hal yang saya pelajari, bukan dari kursus, tapi dari ratusan jam trial & error: Konsistensi bukan tentang kuantitas, tapi kehadiran yang bisa diprediksi. Orang tidak butuh Anda setiap jam. Tapi mereka butuh tahu: "Kalau butuh buku fiksi atau motivasi, Sabtu pagi saya cek halaman Mas Alfred."

Kreativitas bukan tentang jadi konten kreator. Tapi tentang berani tunjukkan wajah asli bisnis Anda, prosesnya, nilainya, bahkan keraguan awalnya.

Dan "panen cuan" terjadi bukan saat Anda viral, tapi saat seseorang memilih Anda bukan karena harga, tapi karena rasa percaya.

Dunia online itu bising. Tapi di tengah kebisingan itu, yang konsisten akan terdengar. Yang kreatif akan diingat. Dan yang jujur akan dipercaya, lalu diulang.

Teruslah hadir. Bukan karena yakin besok laris, tapi karena percaya bahwa setiap usaha yang tulus, punya waktu panennya sendiri. Ini salah satu kelemahan saya untuk konsisten hadir. Inilah kelemahan kalau bekerja sendiri, harus ekstra per-HATI-an dan hadir secara rutin, bukan model hilang muncul seperti lumba-lumba.

Komentar